Rabu, 24 April 2013

Untuk Yang Tak Terduga

Untuk segala yang tak terduga, tidak ada yang tidak mungkin di dalam bulatnya dunia ini. Bertemu dengan orang yang tidak terduga sekalipun tidak ada yang tidak mungkin. Lalu bagaimana kalau bertemu dengan masalalu yang telah membuat kamu sakit begitu dalam? Apa yang dilakukan manusia? Apakah akan mengelakan pertemuan itu? Atau akan saling berpaling muka? Atau bahkan bisa(?) Entahlah

*****

Pria: “Hai, masih mengenalku?”

Wanita: “Masih. Aku masih mengenalmu sebagai sesuatu yang harus aku hindari.”

Pria: “Tidak bisakah kamu berdamai dengan memaafkan?”

Wanita: “Jika kata maaf hanya akan membawaku pada kesalahan dan kebodohan yang sama untuk apa? Sepertinya tidak.”

Pria: “Dulu aku masih kekanakkan..”

Wanita: “Bukankah sampai sekarang pun masih seperti itu?”

Pria: “…tapi begitu juga kamu. Sekarang, setelah berlama-lama seperti ini rupanya telah mendewasakan kita.. Bagaimana jika kita mencoba kembali?”

Wanita: “Kamu bersikap seolah kamu tidak ingat apa yang terjadi sebelumnya? Ataukah kamu hanya bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa?”

Pria: “…”

Wanita: “Kamu selalu kembali hanya untuk pergi lagi. Tidakkah kamu ingat, aku memintamu untuk jangan pernah datang lagi? Jangan buat lubang yang sama untuk yang kesekian kalinya”

Pria: “Kali ini aku tidak datang untuk pergi. Aku pulang. Aku juga tidak ingin membuat lubang yang sama.”

Wanita: “Dulu, kebohonganmu yang mana yang tidak aku percayai?”

Pria: “Aku tidak pernah berbohong.”

Wanita: “Jika mengatakan aku adalah rumah, lalu pergi dan menganggapku sekedar tempat singgah bukanlah kebohongan, lantas apa disebutnya?”

Pria: “Aku tidak sepicik itu, kamu seperti baru mengenalku hari ini saja.”

Wanita: “Tidak, aku hanya terlalu sering membenarkan kesalahanmu. Iya, aku pernah secinta itu.”

Pria: “Dan sekarang? Apa kita harus seperti ini?"

Wanita: “Aku hanya mencoba tidak jatuh cinta padamu lagi. Aku hanya sedang ingin sendiri. Lalu untuk apa kamu mengajakku kembali?”

Pria: “Kenapa kamu membohongi dirimu sendiri dari sesuatu yang tidak bisa kamu sangkal sama sekali? Aku sedang bingung, dan sempat tak mengerti dengan segala permainan alam. Aku tiba-tiba bisa memikirkanmu, merindukan gelat tawamu. Ketahuilah aku benar-benar menyesal pada saat itu.”

Wanita: “Aku selalu kehilangan seluruh kekuatanku hanya untuk membiarkan kamu pergi. Dan sekarang, aku tidak mau kehilangan semuanya saat kamu pergi lagi. Aku sudah susah payah membangun kekuatanku sendiri tanpa kamu boyong, tanpa tiang yang kokoh.”

Pria: “Aku tidak bermaksud untuk pergi lagi. Aku tidak bermaksud mengiris kekuatanmu saat itu.”

Wanita: “Kamu juga berkata seperti itu dulu.”

Pria: “Jadi, aku sudah tidak memiliki kesempatan lagi? Apa aku harus pergi? Apa sudah ada yang lain?"

Wanita: “Tidak. Tidak ada. Aku hanya bingung menentukan sikapku saat ini. Jangan memusingkanku untuk pertemuan saat ini."

Pria: “Mungkin tidak sekarang. Suatu hari nanti kita akan bertemu lagi, bukan?”

Wanita: “Tidak, untuk seterusnya. Pergilah sejauh-jauhnya. Biarkan aku mencari kebahagiaan yang bukan kamu.”

Pria: “Aku akan selalu pulang pada kamu. Begitupun kamu.”

Wanita: “Aku percaya itu. Selamat tinggal.”

*****

Ada guratan cerita singkat yang ditulis didalam selembar kertas putih bersih. Pertemuan dua manusia yang dipermainkan semesta dan jarak. Pertemuan yang entah bagaimana mengindahkannya.

*****

Kau bilang kau ingin mencoba lagi.
Tapi aku sudah mencoba segalanya untuk masuk.
Mengapa kau ingin menghacurkannya lagi?
Mengapa aku membiarkan kau untuk terus mencoba?
Ketika semua yang hanya bisa kita lakukan adalah mengucapkan "Selamat Tinggal"

Untuk segala yang tak terduga.

Senin, 22 April 2013

It's All About The Time

Saya tidak tahu apakah ini permainan takdir atau memang hukum alam. Namun rasanya terlalu kejam jika takdir mempermainkan kita seperti ini. Saya memang percaya, bahwa inilah jawaban dari semesta. Iya, inilah kenyataannya saat semesta berbicara.

Suatu hal yang menurut saya lebih rumit.
Sebuah perjalanan panjang yang entah di mana akhirnya, seperti apa isinya, dan bagaimana satu dan hal lainnya saling berkesinambungan.

Saya tidak tahu ada berapa orang yang pernah berpikiran ingin mempunyai alat, atau kemampuan untuk membaca pikiran orang lain. Yang jelas, saya adalah satu dari beberapa orang tersebut. Apalagi di saat seperti ini, mungkin memang wanita diciptakan sebagai makhluk yang terkenal dengan segala kerumitan pikirannya.

Saya dan pria ini sudah duduk berhadapan selama berjam-jam namun saya tidak juga mengucapkan sepatah kata pun. Dalam ekspektasi saya, selama kedekatan kami, dia tidak akan mengatakan kalimat yang membuat saya terdiam berkepanjangan seperti ini. Dalam pikiran saya dia akan langsung menghamburkan pelukan dan menyapa hangat. Lalu kami akan bercerita panjang menghabiskan sore ini dengan tawa, dan bahagia selama-lamanya. Bukankah cinta memang sesederhana itu? Ada saya, ada dia, yang kemudian menjelma menjadi kita. Memangnya apa lagi yang harus dipikirkan?

“Hallo, Helleny? Are you still there?” Laki-laki itu akhirnya bersuara.

“Entahlah, Diofani.” Gadis inipun menjawab, namun ditambah dengan gestur memandang ke arah jalanan yang menunjukkan bahwa ia sedang memikirkan sesuatu yang membuat pikirannya tersentak sedemikian rupa, “Saya tidak yakin kamu sanggup meluluhkan hati saya. Kamu tidak tahu ada apa di dalam sana. Bagian dari diri saya, masa lalu saya, yang tidak pernah merasa penting untuk diceritakan pada siapapun.”

“Setidak mau itukah kamu menceritakannya?”

“Seperti itu adanya.”

Ya memang, perempuan. Rahasia hatinya sangat dalam, berusaha mengetahuinya pun tak ubahnya menyelami lautan.

“Pejamkan mata kamu sekarang.” Pinta Diofani.

“Maksud kamu, Dio?” Tanya heran, Helleny nampak tak mengerti rupanya.

“Tutup mata kamu, dan genggam tangan saya.” Yakinnya.

“Lalu?”

“Ingat semuanya tentang dia, semuanya. Hal baik tentangnya, dan hal buruk tentangnya. Kerinduan, keraguan, keinginan, kebencian, cinta, harapan, dan semua rasa yang bermuara padanya. Ulang semua saat-saat kamu bersama dia, bayangkan. Tapi saya minta kamu untuk terus menggenggam tangan saya selama mengingatnya, saya ingin kamu tahu saya ada, agar kamu tahu kamu tidak sendirian.”

Helleny pun melakukan apa yang pria itu pinta, dan tangannya tidak melepaskan genggaman tangan pria yg disampingnya. Wajahnya berubah-ubah, tersenyum geli, namun sesaat kemudian berubah memerah meredam amarah. Tak lama kemudian, genggaman tangannya semakin erat dan ia pun memilih membuka mata.

“Saya mencintai dia, Dio. Ternyata tetap sama.” Ucap gadis itu, yang membuat Dio merasa seperti tertampar dan tejatuh dari gedung tertinggi, hatinya seketika beku. “Setelah mengingatnya, saya sadar bahwa saya masih sangat mencintai dia, bahkan dengan semua rasa benci saya. Cinta dan benci yang saya miliki masih sebegitu kurang ajarnya sehingga mampu mengesampingkan keinginan saya untuk bersama kamu.” Lirih Helleny, tertunduk.

“Dan kamu masih ingin bersama dia?”

“Tidak. Saya mencintai dia, masih mencintai dia entah sampai kapan. Tapi bukan berarti saya  akan membiarkan diri saya untuk kembali bersama dia.”

“Jadi maksudnya?” Diofani meminta pasti.

“Saya belum siap membiarkan diri saya untuk terluka lagi. Menurut saya, dengan tidak memiliki, tidak akan ada rasa kehilangan, tidak akan ada ketakutan. Tidak akan ada perasaan-perasaan seperti itu yang selalu menyiksa diri sendiri. Bahkan bisa menyiksa dirimu juga.”

“Saya tidak akan melukai kamu. Kamu akan melewati semua itu bersama saya.” Tegas Diofani.

“Tapi saya akan melukai diri saya sendiri. Dan saya lebih takut dengan kemungkinan bahwa saya bisa saja melukai kamu. Saya masih takut jika terus memikirkan dia, dan itu akan mengecewakan kamu, Dio.” Helleny pun menjawab tegas.

“Kamu mencintai saya?”

“Tidak semua rasa harus diberi nama dan bisa diungkapkan semudah itu. Termasuk apa yang saya rasakan pada kamu. Entahlah. Tolong jangan bawa saya terlalu jauh memikirkan semua ini. Kamu mengerti saya jauh dari yang bisa saya ungkapkan bukan? Kamu kenal saya sudah sangat lama.”

“Saya tau, saya tidak pernah bermaksud membuatmu memiliki rasa takut berlebihan. Kalau begitu, kenapa kamu terlihat bahagia. Jika bukan karena cinta ketika bersamaku. Apalagi namanya?”

“Saya nyaman bersama kamu, Dio. Saya hanya tidak siap untuk memberi kamu lebih dari itu.”

"Helleny, dengar saya. Bersiaplah dengan kebahagiaan yang fana. Yang tidak pernah kau ketahui bagaimana cara mengungkapkannya.”

Helleny hanya terdiam sambil memandangi dan merekam baik setiap gestur tubuh dan nada suara dari pria di depannya.

“Teruslah merasa nyaman dengan ketidakjelasan tersebut. Tapi saya yakin.. kelak nanti, semesta mempunyai caranya sendiri. Mungkin nanti, setelah kamu tidak lagi terjebak dalam permainan masa. Mungkin nanti, setelah apa yang kamu rasakan pada saya telah mampu kau beri nama. Setelah nanti kamu tidak merasa takut dengan segala masa lalumu” Lanjut Diofani.

Dia terdiam lagi dalam waktu yang cukup lama.

Dan saya memilih untuk melakukan hal yang sama.

Restaurant sore ini dihadiri oleh dua orang di satu meja yang sama namun tidak bersama disatukan oleh cerita dan dua cangkir teh hangat. Perbincangan yang sunyi. Saat itu, suasana seakaan membiarkan mereka terhanyut dalam suasana hening yang menyenangkan.

Rupanya Senja sore ini begitu indah, biarpun mereka terjebak dalam rasa diam di akhir yg berkepanjangan, tetapi pastilah senyum melukis didalam hati mereka.

Semesta mempunyai caranya sendiri, untuk Kami bersama Senja.